Selasa, 31 Mei 2016

Dimuat di Koran Radar Banten (25/8/2014) 
Oleh: A. Munawar
(Sekretaris Umum FOKAL IMM Banten)


Pemilihan umum (pemilu) secara nasional yaitu pemilu legislatif serta pemilu presiden dan wakil presiden 2014 telah dilalui, walau untuk pilpres masih menyisakan beberapa persoalan seperti penomena politik nasional yang kita lihat saat ini, tak apa toh itu bagian dari dinamika politik yang mudah-mudahan menjadikan pembelajaran berharga dan pendewasaan bagi perpolitikan bangsa ini. Beberapa kali kita melewati dan turut andil dalam setiap momentum pemilu, tentunya sudah cukup banyak pembelajaran yang bisa kita ambil dan menjadikan masyarakat Indonesia dewasa dalam hal politik.
Perjalanan perpolitikan Indonesia masih panjang, Karena setelah ini pun, masih ada momentum pemilu lainnya. Jelang 2015 beberapa daerah akan melaksanakan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah diantaranya Kabupaten Monokwari provinsi papua barat, Kabupaten Pandeglang, kabupaten serang, kota tangerang selatan, kota cilegon dan provinsi banten, selain itu ada juga Kabupaten purbalingga, Kabupaten bandung dan beberapa daerah lainnya.
Melalui amendemen ke 2 (dua) UUD 45, kemudian lahirnya UU 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah. Bahwa kepala daerah harus dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum, yang Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Akhir-akhir ini isu kepala daerah dan wakil kepala daerah di pilih kembali oleh DPRD kembali muncul dan menjadi perdebatan beberapa kalangan pengamat hukum tata negara dan para politisi dengan akan diubahnya UU 23 tahun 2004 sebagai mana telah diubah kedua kalinya oleh UU 12 tahun 2008. Penulis rasa, kurang tepat jika pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah di pilih kembali oleh DPRD. Alasannya tentu saja konstitusional dan sejarah bangsa yang menyepakati bentuk negara demokratsi, walau pun bisa saja di sebut demokratis ketika kepala daerah dan wakil kepala daerah di pilih kembali oleh DPRD karena toh mereka pun hasil dari pemilihan umum dan sebagai representasi dari rakyat di parlemen. Tapi bagaimana dengan istilah "satu orang, satu suara, satu nilai" yang menjadi salah satu prinsip dasar pemilu yang demokratis. Disamping itu tipologi masyarakat sekarang yang seolah kehilangan kepercayaan terhadap para legislator walau pun itu hasil dari pemilihan umum yang mereka pilih sendiri.
Tentunya kita bisa sama-sama telaah bagaimana amanat Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 Junto pasal 56 ayat (1) UU Nomor 32 tahun 2004 sebagai mana telah diubah kedua kalinya oleh UU 12 tahun 2008 tentang pemerintah daerah. Eksplisit disana dikatakan bahwa "Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil". Maka dalam hal pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah akan menjadi pertaruhan bagaimana mengukur demokratis atau tidaknya dalam fase menentukan sang kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dapat di pilih langsung oleh masyarakat di daerahnya. Lewat pemilihan langsung oleh masyarakat inilah salah satunya yang akan menjadi tolak ukur demokratis atau tidaknya suatu daerah dalam pengelolaan daerahnya itu sendiri.
Miminjam istilah Schumpeter, ia menyebutkan ada dua mekanisme yang secara efektif dapat mencegah terjadinya penyelewengan kekuasaan dalam system yang demokratis, yaitu pertama pemilihan umum yang regular, kedua kompetisi terbuka dan sederajat diantara partai-partai politik. Penulis rasa apa yang menurut Schumpeter diatas pemilu regular merupakan pemilu yang dilaksanakan secara berkala dalam setiap priodesasi jabatan kepemimpinan hasil pemilu, sedangkan kompetisi terbuka dan sederajat tentunya hanya bisa dilakukan melalui pemilihan kepemimpinan yang dipilih langsung oleh masyarakat melalui pemilihan umum yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dengan kompetisi terbuka pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui pemilu langsung, merupakan langkah strategis bagaimana rakyat menentukan arah pembangunan daerahnya sendiri. Tentunya dengan komitmen politik yang dibangun antara masyarakat dengan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan berkolerasi pada visi-misinya yang ditawarkan lewat pemilihan umum. Yang kemudian akan diaplikasikan lewat rencana pembangunan jangka pendek, menengah dan panjang. Lalu dituangkan dalam APBD.
Dalam konteks inilah peranan yang sangat strategis masyarakat memilih secara langsung sang kepala daerahnya lewat pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam rangka pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemeratan, kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan yang serasi antara pemerintahan pusat dan daerah serta antar daerah untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh sebab itu, diperlukan figure kepala daerah yang mampu mengembangkan inovasi, berwawasan kedepan dan siap melakukan perubahan kearah yang lebih baik serta mampu mengemban amanah.
Konsekwensi logis dari ketentuan tersebut adalah bahwa pemilihan kepala daerah harus memeproleh legitimasi masyarakat secara penuh. Disisi lain pemilihan kepala daerah secara demokratis tersebut sebagai manifestasi dari pada wujud kedaulatan rakyat pada tingkat daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kota) dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Walau pun dengan kompetisi terbuka pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah, masih banyak kalangan yang berasumsi bahwa pelaksanaan pemilihan umum terlalu menghabiskan biaya mahal.

Asumsi tersebut menurut penulis tidaklah tepat, kita harus memahami secara utuh bahwa ide dasar demokrasi yaitu sebuah pilihan yang mandiri dan rasionalitas setiap warga negara, serta agar masyarakat tetap dapat berkuasa atas dirinya. Hal itu untuk menghindari rezim otoriter dari setiap kepemimpinan atau sekelompok penguasa lokal. Maka untuk mewujudkan cita-cita demokrasi lokal pastilah mengandung biaya yang harus ditanggung, karena kita harus fahami bersama bahwa diselenggarakannya pemilu kepala daerah (pemilu lokal) yang berimplikasi kepada munculnya biaya yang harus ditanggung, semata-mata bukan untuk kepentingan elit yang ingin berkuasa. Akan tetapi untuk kepentingan masyarakat itu sendiri menentukan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang akan mendapatkan mandat untuk membawa daerahnya kearah yang lebih baik demi cita-cita kesejahteraan masyarakat lokal.

0 komentar:

Posting Komentar