Dimuat di Koran Radar Banten (25/8/2014)
Oleh: A. Munawar
(Sekretaris Umum FOKAL IMM Banten)
Pemilihan umum (pemilu)
secara nasional yaitu pemilu legislatif serta pemilu presiden dan wakil
presiden 2014 telah dilalui, walau untuk pilpres masih menyisakan beberapa
persoalan seperti penomena politik nasional yang kita lihat saat ini, tak apa
toh itu bagian dari dinamika politik yang mudah-mudahan menjadikan pembelajaran
berharga dan pendewasaan bagi perpolitikan bangsa ini. Beberapa kali kita melewati
dan turut andil dalam setiap momentum pemilu, tentunya sudah cukup banyak
pembelajaran yang bisa kita ambil dan menjadikan masyarakat Indonesia dewasa
dalam hal politik.
Perjalanan perpolitikan
Indonesia masih panjang, Karena setelah ini pun, masih ada momentum pemilu
lainnya. Jelang 2015 beberapa daerah akan melaksanakan pemilu kepala daerah dan
wakil kepala daerah diantaranya Kabupaten Monokwari provinsi papua barat, Kabupaten
Pandeglang, kabupaten serang, kota tangerang selatan, kota cilegon dan provinsi
banten, selain itu ada juga Kabupaten purbalingga, Kabupaten bandung dan
beberapa daerah lainnya.
Melalui amendemen ke 2 (dua)
UUD 45, kemudian lahirnya UU 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah. Bahwa
kepala daerah harus dipilih secara demokratis melalui pemilihan umum, yang Sebelum
tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD). Akhir-akhir ini isu kepala daerah dan wakil kepala daerah
di pilih kembali oleh DPRD kembali muncul dan menjadi perdebatan beberapa
kalangan pengamat hukum tata negara dan para politisi dengan akan diubahnya UU
23 tahun 2004 sebagai mana telah diubah kedua kalinya oleh UU 12 tahun 2008.
Penulis rasa, kurang tepat jika pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah di
pilih kembali oleh DPRD. Alasannya tentu saja konstitusional dan sejarah bangsa
yang menyepakati bentuk negara demokratsi, walau pun bisa saja di sebut
demokratis ketika kepala daerah dan wakil kepala daerah di pilih kembali oleh
DPRD karena toh mereka pun hasil dari pemilihan umum dan sebagai representasi
dari rakyat di parlemen. Tapi bagaimana dengan istilah "satu orang,
satu suara, satu nilai" yang menjadi salah satu prinsip dasar pemilu
yang demokratis. Disamping itu tipologi masyarakat sekarang yang seolah
kehilangan kepercayaan terhadap para legislator walau pun itu hasil dari
pemilihan umum yang mereka pilih sendiri.
Tentunya kita bisa
sama-sama telaah bagaimana amanat Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945
Junto pasal 56 ayat (1) UU Nomor 32 tahun 2004 sebagai mana telah diubah kedua
kalinya oleh UU 12 tahun 2008 tentang pemerintah daerah. Eksplisit disana
dikatakan bahwa "Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam
satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil". Maka dalam hal
pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah akan menjadi pertaruhan bagaimana
mengukur demokratis atau tidaknya dalam fase menentukan sang kepala daerah dan
wakil kepala daerah yang dapat di pilih langsung oleh masyarakat di daerahnya. Lewat
pemilihan langsung oleh masyarakat inilah salah satunya yang akan menjadi tolak
ukur demokratis atau tidaknya suatu daerah dalam pengelolaan daerahnya itu
sendiri.
Miminjam istilah Schumpeter,
ia menyebutkan ada dua mekanisme yang secara efektif dapat mencegah terjadinya
penyelewengan kekuasaan dalam system yang demokratis, yaitu pertama pemilihan
umum yang regular, kedua kompetisi terbuka dan sederajat diantara partai-partai
politik. Penulis rasa apa yang menurut Schumpeter diatas pemilu regular
merupakan pemilu yang dilaksanakan secara berkala dalam setiap priodesasi
jabatan kepemimpinan hasil pemilu, sedangkan kompetisi terbuka dan sederajat
tentunya hanya bisa dilakukan melalui pemilihan kepemimpinan yang dipilih
langsung oleh masyarakat melalui pemilihan umum yang diselenggarakan oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dengan kompetisi terbuka
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui pemilu langsung,
merupakan langkah strategis bagaimana rakyat menentukan arah pembangunan
daerahnya sendiri. Tentunya dengan komitmen politik yang dibangun antara
masyarakat dengan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan
berkolerasi pada visi-misinya yang ditawarkan lewat pemilihan umum. Yang
kemudian akan diaplikasikan lewat rencana pembangunan jangka pendek, menengah
dan panjang. Lalu dituangkan dalam APBD.
Dalam konteks inilah
peranan yang sangat strategis masyarakat memilih secara langsung sang kepala
daerahnya lewat pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam rangka
pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemeratan, kesejahteraan
masyarakat, memelihara hubungan yang serasi antara pemerintahan pusat dan
daerah serta antar daerah untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Oleh sebab itu, diperlukan figure kepala daerah yang mampu
mengembangkan inovasi, berwawasan kedepan dan siap melakukan perubahan kearah
yang lebih baik serta mampu mengemban amanah.
Konsekwensi logis dari
ketentuan tersebut adalah bahwa pemilihan kepala daerah harus memeproleh
legitimasi masyarakat secara penuh. Disisi lain pemilihan kepala daerah secara
demokratis tersebut sebagai manifestasi dari pada wujud kedaulatan rakyat pada
tingkat daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kota) dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Walau pun dengan kompetisi terbuka pemilu kepala daerah dan
wakil kepala daerah, masih banyak kalangan yang berasumsi bahwa pelaksanaan
pemilihan umum terlalu menghabiskan biaya mahal.
Asumsi tersebut menurut
penulis tidaklah tepat, kita harus memahami secara utuh bahwa ide dasar
demokrasi yaitu sebuah pilihan yang mandiri dan rasionalitas setiap warga
negara, serta agar masyarakat tetap dapat berkuasa atas dirinya. Hal itu untuk
menghindari rezim otoriter dari setiap kepemimpinan atau sekelompok penguasa lokal.
Maka untuk mewujudkan cita-cita demokrasi lokal pastilah mengandung biaya yang
harus ditanggung, karena kita harus fahami bersama bahwa diselenggarakannya
pemilu kepala daerah (pemilu lokal) yang berimplikasi kepada munculnya biaya
yang harus ditanggung, semata-mata bukan untuk kepentingan elit yang ingin
berkuasa. Akan tetapi untuk kepentingan masyarakat itu sendiri menentukan
kepala daerah dan wakil kepala daerah yang akan mendapatkan mandat untuk
membawa daerahnya kearah yang lebih baik demi cita-cita kesejahteraan
masyarakat lokal.
0 komentar:
Posting Komentar