Tulisan Ini Dimuat Koran Radar Banten, 8 Nov 2013
Oleh A. Munawar
(Sekum FOKAL IMM Banten)
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang. (Pasal 1 ayat 2 UUD 45)
Akhir-akhir ini perhatian
publik seolah tertuju pada kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang di sajikan
oleh penyelenggara pemilu (KPU). Banyak kalangan, apalagi para elit politik
begitu detile memperhatikan DPT dengan dalih khawatir akan terjadinya penyalah
gunaan dari kekurang sempurnaan DPT untuk pemilu legislatif 2014. Penulis
anggap kritikan dari pemangku kepentingan pemilu hal yang perlu di apresiasi
dengan baik, menandakan respon atas terselenggaranya pemilu yang berkualitas,
jujur dan adil.
Penulis sependapat dengan
beberapa pendapat para stake holder pemerhati pemilu bahwa salah satu tolak
ukur pemilu yang berkualitas adalah dengan sempurnanya DPT, namun penulis di
sini bukan untuk membahas bagaimana menyajikan DPT yang sesempurna mungkin.
Penulis ingin mengeksplorasi
lebih kepada esensi pemilu dan korelasinya kepada tujuan demokrasi yaitu
bagaimana tingkat kesejahteraan rakyat mampu diperjuangkan melalui keterwakilan
kepemimpinan pada level legislatif. Mari kita renungi dan lebih dalami esensi demokrasi.
Demokrasi secara harfiah berasal dari kata demos dan cratein. Demos berarti
rakyat, sedangkan cratein berarti pemerintahan. Dengan demikian demokrasi
adalah pemerintahan yang berdasarkan kepentingan rakyat. Semata-semata semua
kepentingan rakyat tersublimasi melalui perwakilannya di lembaga Negara. Di
ranah ini kemudian Indonesia melaksanakan pemilu karena pemilu dianggap
mekanisme tercanggih untuk pengisian jabatan-jabatan politik di pemerintahan
dan agar rakyat tetap dapat berdaulat atas dirinya. Dengan harapan saat
seseorang terpilih menjadi representasi rakyat melalui pemilu, tetap dapat
menjunjung partisipasi rakyat tanpa memutus peran rakyat dalam setiap
penyusunan kebijakan pemerintahan. Hingga antara pemerintah dan rakyat
terbangun dalam komunikasi yang partisipatoris. Melalui pemilu, dapat
mewujudkan demokrasi yang seutuhnya tercipta berdasarkan keputusan dan kemauan
rakyat. Tidak ada cara atau sarana lain yang dapat digunakan selain pemilu yang
dapat mengejawantahkan teori perjanjian rakyat. Dan semua Negara yang mengakui
dan menganut demokrasi di dunia melaksanakan pemilu agar dapat mewujudkan
demokrasi.
Sebagai syarat utama dari
terciptanya sebuah tatanan demokrasi secara universal, pemilihan umum adalah
lembaga sekaligus praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah
pemerintahan perwakilan (representative government). Karena dengan pemilihan
umum, masyarakat secara individu memiliki hak dipilih sebagai pemimpin
atau wakil rakyat maupun memilih pemimpin dan wakilnya di lembaga
legislatif.
Lantas Pemilu Untuk Siapa?
Pertanyaan inilah yang sering
penulis temukan dalam kalangan masyarakat yang masih awam memaknai esensi
pemilu. Terfikir dalam benak penulis kenapa setelah beberapa kali masyarakat
Indonesia melewati momen pemilu untuk memilih keterwakilan mereka di parlemen,
ternyata kebanyakan masyarakat kita masih awam memaknai esensi pemilu. Kenyataan
yang miris bisa kita temui pada masyarakat buruh tani, nelayan, dan masyarakat
pedesaan serta tidak menutup kemungkinan pada masyarakat perkotaan. Dimana hari
ini ternyata pola pikir politik masyarakat secara umum sudah pragmatis
materalistik, mereka siap memilih, siap mendukung tapi harus ada imbalan
seketika itu juga. Sehingga esensi dari momentum pemilu yang kita lewati jadi bias,
seolah tanpa tujuan dan hanya memaknai pemilu sebatas perebutan kekuasaan
semata.
Masyarakat harus dibangunkan,
digugah agar kesadaran berpolitik kembali pada tujuan yang sebenarnya dan ini
tanggung jawab kita semua. Sederhananya, bagaimana kita membawa pola fikir
masyarakat agar menganggap bahwa pemilu adalah satu kebutuhan untuk membawa
perubahan terutama pada tingkat kesejahteraan perekonomian masyarakat dengan
memilih pemimpin yang memiliki integritas dan mumpuni. Mari kita bawa pada
contoh yang paling sederhana, bahwa pemilu adalah sesuatu hal yang sangat
penting bagi kita masyarakat Indonesia dalam sistem demokrasi yang dianut.
Kita bisa memulai dari pasar,
saat akan membeli bawang atau cabe kita menemui harga ternyata naik tinggi
padahal tarap penghasilan masyarakat masih dibawah rata-rata. Pertanyaannya
kenapa bisa begitu? Apakah karena langka atau ada faktor lain. Penulis ingin
menggiring opini masyarakat pada kebijakan pasar, dan siapa yang membuat
kebijakan pasar. Tentunya bicara kebijakan pasar ini tanggung jawab pemerintah,
dan kita punya keterwakilan pemimpin (legislatif) dalam pemerintahan yang bisa
mempengaruhi harga pasar. Dan yang harus kita sadari bahwa keterwakilan
pemimpin di parlemen itu di hasilkan melalui pemilu yang berkala, langsung,
umum, bebas dan rahasia.
Dari contoh sederhana itu,
penulis rasa kita semua sadar betapa pentingnya pemilu untuk memilih
wakil-wakil kita yang akan menjadi keterwakilan kita di parlemen. Artinya bahwa
bagaimana kita menjadi pemilih yang cerdas dan selektif agar dapat menghasilkan
pemimpin yang baik melalui pemilu.
Mengutif apa yang dikatakan
Robert Dahl, bahwa pemilihan umum (pemilu) merupakan gambaran ideal dan
maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern. Pemilihan umum
dewasa ini menjadi suatu parameter dalam mengukur demokratis tidaknya suatu
negara, bahkan pengertian demokrasi sendiri secara sedehana tidak lain adalah
suatu sistem politik dimana para pembuat keputusan kolektif tertinggi di dalam
sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala. Pemilu
memfasilitasi sirkulasi elit, baik antara elit yang satu dengan yang lainnya,
maupun pergantian dari kelas elit yang lebih rendah yang kemudian naik ke kelas
elit yang lebih tinggi. Sirkulasi ini akan berjalan dengan sukses dan tanpa
kekerasan jika pemilu diadakan dengan adil dan demokratis.
Paling tidak ada tiga alasan
mengapa pemilu bisa menjadi sarana legitimasi politik bagi pemerintah yang
berkuasa. Pertama, melalui pemilu pemerintah sebenarnya bisa meyakinkan
atau setidaknya memperbaharui kesepakatan-kesepakatan politik dengan rakyat. Kedua,
melalui pemilu, pemerintah dapat pula mempengaruhi perilaku rakyat atau warga negara.
Ketiga, dalam dunia modern para penguasa dituntut untuk mengandalkan
kesepakatan dari rakyat ketimbang pemaksaan (coercion) untuk mempertahankan
legitimasinya.
0 komentar:
Posting Komentar