Kamis, 09 Juni 2016

Tulisan Ini Dimuat Koran Radar Banten, 8 Nov 2013

Oleh A. Munawar
(Sekum FOKAL IMM Banten)

A Munawar

Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang. (Pasal 1 ayat 2 UUD 45)

Akhir-akhir ini perhatian publik seolah tertuju pada kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang di sajikan oleh penyelenggara pemilu (KPU). Banyak kalangan, apalagi para elit politik begitu detile memperhatikan DPT dengan dalih khawatir akan terjadinya penyalah gunaan dari kekurang sempurnaan DPT untuk pemilu legislatif 2014. Penulis anggap kritikan dari pemangku kepentingan pemilu hal yang perlu di apresiasi dengan baik, menandakan respon atas terselenggaranya pemilu yang berkualitas, jujur dan adil.
Penulis sependapat dengan beberapa pendapat para stake holder pemerhati pemilu bahwa salah satu tolak ukur pemilu yang berkualitas adalah dengan sempurnanya DPT, namun penulis di sini bukan untuk membahas bagaimana menyajikan DPT yang sesempurna mungkin.

Penulis ingin mengeksplorasi lebih kepada esensi pemilu dan korelasinya kepada tujuan demokrasi yaitu bagaimana tingkat kesejahteraan rakyat mampu diperjuangkan melalui keterwakilan kepemimpinan pada level legislatif. Mari kita renungi dan lebih dalami esensi demokrasi. Demokrasi secara harfiah berasal dari kata demos dan cratein. Demos berarti rakyat, sedangkan cratein berarti pemerintahan. Dengan demikian demokrasi adalah pemerintahan yang berdasarkan kepentingan rakyat. Semata-semata semua kepentingan rakyat tersublimasi melalui perwakilannya di lembaga Negara. Di ranah ini kemudian Indonesia melaksanakan pemilu karena pemilu dianggap mekanisme tercanggih untuk pengisian jabatan-jabatan politik di pemerintahan dan agar rakyat tetap dapat berdaulat atas dirinya. Dengan harapan saat seseorang terpilih menjadi representasi rakyat melalui pemilu, tetap dapat menjunjung partisipasi rakyat tanpa memutus peran rakyat dalam setiap penyusunan kebijakan pemerintahan. Hingga antara pemerintah dan rakyat terbangun dalam  komunikasi yang partisipatoris. Melalui pemilu, dapat mewujudkan demokrasi yang seutuhnya tercipta berdasarkan keputusan dan kemauan rakyat. Tidak ada cara atau sarana lain yang dapat digunakan selain pemilu yang dapat mengejawantahkan teori perjanjian rakyat. Dan semua Negara yang mengakui dan menganut demokrasi di dunia  melaksanakan pemilu agar dapat mewujudkan demokrasi.

Sebagai syarat utama dari terciptanya sebuah tatanan demokrasi secara universal, pemilihan umum adalah lembaga sekaligus praktik politik yang memungkinkan terbentuknya sebuah pemerintahan perwakilan (representative government). Karena dengan pemilihan umum, masyarakat secara individu memiliki hak dipilih sebagai pemimpin atau wakil rakyat maupun memilih pemimpin dan wakilnya di lembaga legislatif.

Lantas Pemilu Untuk Siapa?
Pertanyaan inilah yang sering penulis temukan dalam kalangan masyarakat yang masih awam memaknai esensi pemilu. Terfikir dalam benak penulis kenapa setelah beberapa kali masyarakat Indonesia melewati momen pemilu untuk memilih keterwakilan mereka di parlemen, ternyata kebanyakan masyarakat kita masih awam memaknai esensi pemilu. Kenyataan yang miris bisa kita temui pada masyarakat buruh tani, nelayan, dan masyarakat pedesaan serta tidak menutup kemungkinan pada masyarakat perkotaan. Dimana hari ini ternyata pola pikir politik masyarakat secara umum sudah pragmatis materalistik, mereka siap memilih, siap mendukung tapi harus ada imbalan seketika itu juga. Sehingga esensi dari momentum pemilu yang kita lewati jadi bias, seolah tanpa tujuan dan hanya memaknai pemilu sebatas perebutan kekuasaan semata.

Masyarakat harus dibangunkan, digugah agar kesadaran berpolitik kembali pada tujuan yang sebenarnya dan ini tanggung jawab kita semua. Sederhananya, bagaimana kita membawa pola fikir masyarakat agar menganggap bahwa pemilu adalah satu kebutuhan untuk membawa perubahan terutama pada tingkat kesejahteraan perekonomian masyarakat dengan memilih pemimpin yang memiliki integritas dan mumpuni. Mari kita bawa pada contoh yang paling sederhana, bahwa pemilu adalah sesuatu hal yang sangat penting bagi kita masyarakat Indonesia dalam sistem demokrasi yang dianut.

Kita bisa memulai dari pasar, saat akan membeli bawang atau cabe kita menemui harga ternyata naik tinggi padahal tarap penghasilan masyarakat masih dibawah rata-rata. Pertanyaannya kenapa bisa begitu? Apakah karena langka atau ada faktor lain. Penulis ingin menggiring opini masyarakat pada kebijakan pasar, dan siapa yang membuat kebijakan pasar. Tentunya bicara kebijakan pasar ini tanggung jawab pemerintah, dan kita punya keterwakilan pemimpin (legislatif) dalam pemerintahan yang bisa mempengaruhi harga pasar. Dan yang harus kita sadari bahwa keterwakilan pemimpin di parlemen itu di hasilkan melalui pemilu yang berkala, langsung, umum, bebas dan rahasia.

Dari contoh sederhana itu, penulis rasa kita semua sadar betapa pentingnya pemilu untuk memilih wakil-wakil kita yang akan menjadi keterwakilan kita di parlemen. Artinya bahwa bagaimana kita menjadi pemilih yang cerdas dan selektif agar dapat menghasilkan pemimpin yang baik melalui pemilu.

Mengutif apa yang dikatakan Robert Dahl, bahwa pemilihan umum (pemilu) merupakan gambaran ideal dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern. Pemilihan umum dewasa ini menjadi suatu parameter dalam mengukur demokratis tidaknya suatu negara, bahkan pengertian demokrasi sendiri secara sedehana tidak lain adalah suatu sistem politik dimana para pembuat keputusan kolektif tertinggi di dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala. Pemilu memfasilitasi sirkulasi elit, baik antara elit yang satu dengan yang lainnya, maupun pergantian dari kelas elit yang lebih rendah yang kemudian naik ke kelas elit yang lebih tinggi. Sirkulasi ini akan berjalan dengan sukses dan tanpa kekerasan jika pemilu diadakan dengan adil dan demokratis.

Paling tidak ada tiga alasan mengapa pemilu bisa menjadi sarana legitimasi politik bagi pemerintah yang berkuasa. Pertama, melalui pemilu pemerintah sebenarnya bisa meyakinkan atau setidaknya memperbaharui kesepakatan-kesepakatan politik dengan rakyat. Kedua, melalui pemilu, pemerintah dapat pula mempengaruhi perilaku rakyat atau warga negara. Ketiga, dalam dunia modern para penguasa dituntut untuk mengandalkan kesepakatan dari rakyat ketimbang pemaksaan (coercion) untuk mempertahankan legitimasinya.

0 komentar:

Posting Komentar