Yogi Iskandar
Intelektualitas Pemuda
Jika
kita bertanya kepada diri sendiri kenapa hidup ini berada dalam
keterpurukan? Maka jawaban yang ada dibenak kita bermacam-macam. Semua
itu tergantung latar belakang dan kemampuan masing-masing dalam
menyikapi masalah kehidupan. Setiap orang hendaknya berpikir positif
agar energi yang dihasilkan berbuah sesuatu yang baik. Jika seseorang
berpikiran negative, maka setiap tindankannya akan berbuah tidak baik.
Saya
merasa terpanggil untuk menulis ini ketika melihat realita pemuda yang semakin
menunjukan kemunduran dan keterbelakangan. Banyak diantara mereka yang tidak
mampu mengimplementasikan ilmu yang mereka dapat di sekolah. Padahal proses
menuntut ilmu di sekolah saja hampir 12 tahun lebih, belum untuk program S1,
pasca sarjana, doctoral. Di daerah tertinggal rata-rata pendidikan hanya sampai
tingkat SLTA. Biaya pendidikan yang cukup mahal juga faktor lingkungan yang
terkadang kurang peduli menjadi alasannya.
Realita
yang tidak bisa kita pungkiri yaitu meskipun banyak masyarakat yang tidak mengamalkan
ilmu yang mereka pelajari di sekolah. Mungkin karena beberapa faktor, antara
lain kurangnya kesungguhan saat belajar, guru yang tidak jelas saat mengajar
atau kapasitas kecerdasan yang memungkinkan pelajaran sulit diterima pada saat
mengikuti proses belajar mengajar. Ironi ini membuat sebagian masyarakat merasa
percuma menyekolahkan anak-anak mereka yang seharusnya memberkan kebanggaan
terhadap keluarga, akan tetapi justru sebaliknya. Tak ada yang patut
dipersalahkan, lebih baik kita memperbaiki generasi kita agar mempunyai daya saing di masa depan.
Pemuda
intelektual adalah para pemuda yang memiliki kecerdasan memadai untuk berperan
di tengah masyarakat. Menurut Gunarsa, 1991, intelektual adalah suatu kumpulan
seseorang untuk memperoleh imu pengetahuan dan mengamalkannya dalam hubungannya
dengan lingkungan dan masalah masalah yang timbul. Lalu bagaimana bila sebagai
kaum intelektual yang mampu mendapatkan ilmu namun tidak dapat mengamalkannya?
Pemuda Sebagai Kaum Intelektual
Sejarah
Indonesia menunjukan bahwa kemerdekaan diraih oleh semangat pemuda yang
berpikir. Pemuda semestinya menjadi kaum intelektual yang selalu ada dan bisa
memberikan jalan keluar menyelesaikan persoalan-persoalan. Presiden Republik
Indonesia Sukarno pernah berkata, “Berikan
aku sepuluh pemuda, maka akan aku guncangkan dunia.”. Ini bukan berarti semua pemuda bisa menjadi referensi
perubahan. Hanya pemuda pilihan yang
dapat mengguncang dunia seperti yang dikatakan oleh Presiden Soekarno. Intelektualitas
menjadi faktor penting yang harus dimiliki pemuda sebagai agen perubahan bangsa
dan negara.
Namun
belakangan ini banyak pemuda tidak lagi menjadi superhero seperti dulu. Jangan
dulu memikirkan mempertahankan bangsa dan harga diri negara. Pikiran dahulu krisis
moral yang melanda pemuda kita. Pemerkosaan, perampokan, premanisme dan tindakan
tak bermoral lainnya kerap dilakukan oleh sebagian generasi muda. Walaupun
demikian pemuda tetap menjadi referensi serta tulang punggung bangsa dan
negara. Keberadaannya tetap diperhitungkan dalam setiap kegiatan yang ada.
Penjajahan
dalam bentuk lain sedang kita alami di era globalisasi ini. Banyak tenaga kerja
asing yang masuk ke Indonesia. Pemerintah dalam mencari tenaga kerja yang
handal lebih percaya kepada pihak asing daripadan masyarakat pribumi. Ha ini
akhirnya berimbas pada masalah social, seperti pengangguran. Cepat atau lambat
jika masalah ini terus dibiarkan akan menjadi kesenjangan yang panjang.
Realita ini hanya disikapi oleh segelintir
pemuda yang merasa harga diri bangsa telah diinjak-injak. Namun sebagian besar
yang lainnya terkesan tidak mau tahu dengan apa yang terjadi di lingkungannya.
Hal ini menunjukan bahwa ada keterpurukan atas intelektualitas pemuda saat ini.
Menanggulangi Keterpurukan
Karena
masalah kita adalah keterpurukan intelektualitas pemuda, maka hal ini harus
ditanggulangi sejak dini. Mulai dari tingkat dasar sampai dengan tingkat atas generasi
kita harus dibekali dengan ilmu yang bermanfaat. Jika ilmu yang bermanfaat
telah disampaikan, tetapi dalam prosesnya tidak menghasilkan peserta didik yang
berkualitas, maka bisa jadi ada faktor tersembunyi yang menyebabkan hal
tersebut.
Imam
Syafi’I pernah mengatakan bahwa seseorang tidak akan pernah mendapatkan ilmu kecuali
dengan 6 perkara. Enam hal tersebut yang pertama cerdas, seseorang harus cerdas dalam melakukan proses mencari
ilmu. Cerdas yang dimaksud adalah mampu membedakan mana yang bermanfaat dan
yang tidak bermanfaat, yang baik dan yang buruk, yang harus dilakukan dan tidak
boleh dilakukan.
Kedua tamak,
artinya dalam mencari ilmu seseorang harus bernafsu, seperti makan saat lapar
tiba, menikmati dan selalu tak sabar ingin melahap makanan. Ketiga ijtihad(sungguh-sungguh), keempat dirham (biaya), kelima bergaul dengan guru, dalam hal ini
seorang murid jika ilmunya ingin bermanfaat maka harus bersikap baik kepada
gurunya. Keenam dalam mencari ilmu harus dengan waktu yang sangat panjang.
Dari
uraian di atas saya ingin membahas poin nomor 5 yaitu hormat kepada guru.
Dijelaskan pula di atas bahwa seseorang tidak akan mendapatkan ilmu kecuali
dengan 6 perkara , salah satunya hormat atau bergaul baik dengan guru. Mari
kita renungkan bersama merenungkan apakah ilmu yang kita dapatkan dapat kita
terima jikan bukan karena keikhlasan sang guru yang memberikannya? Percuma jika
kita belajar namun kita tidak pernah hormat kepada guru kita. Sebuah pelajaran
berharga bagi kita, kenapa terkadang ilmu yang diterima tidak bermanfaat.
Hendaknya kita mengingat kembali apakah kita pernah melakukan tindakan yang
menyakiti guru kita, sehingga ilmu yang kita dapatkan tak bisa menjadi manfaat.
Jika
dikaitkan dengan kondisi moral anak bangsa saat ini, sikap hormat seorang murid
terhadap gurunya sangat memprihatinkan. Banyak murid yang tidak menghormati
guru, padahal mereka tak sadar akibat yang akan diterimanya di masa depan.
Mungkin saja ini yang menyebabkan bangsa ini belum mempunyai generasi muda yang
handal.
Merenung Sejenak
Hilangnya
sikap pemuda sebagai kaum perubahan harus menyadari sebab akibat yang terjadi
atas kondisi moral di negeri ini. Sikap hormat terhadap guru memang sudah
seharusnya dilakukan, karena guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Ilmu yang
dapat membuat seseorang mempunyai derajat yang tinggi dan piawai dalam
melakukan perubahan.
Perubahan
harus segera dimulai semua kalangan terutama kalangan muda. Keterpurukan
intelektualitas bisa ditanggulangi jika kesadaran berhasil dibangun di tengah
masyarakat luas. Memang sulit mengajak seseorang melakukan kebaikan. Namun
lebih sulit membiarkan keterpurukan yang akan berdampak pada hilangnya harapan
bangsa ini.
Para
pemuda harus bangkit, sejarah pernah mencatat berbagai perjuangan pemuda
sebagai insan intelektual. Pemuda adalah tulang punggung bangsa, penerus
bangsa, calon pemimpin bangsa di hari esok. Jika keterpurukan pemuda dibiarkan
maka agen perubahan bangsa ini akan musnah. Sebuah harapan besar berada di
tangan pemuda, dialah yang menentukan akan dibawa ke mana bangsa ini.
0 komentar:
Posting Komentar