Pernah Dimuat di Kabar Banten 9 Desember 2015
Oleh: A. Munawar
(Sekum FOKAL IMM Banten)
![]() |
A Munawar |
Dinamika politik dari priode ke
priode selalu berubah-ubah, tentunya hal demikian salah satunya disebabkan oleh
siapa yang berperan dan memerankan peranan penting dari munculnya dinamika yang
berkembang. Para elit/aktor politik yang memiliki peran strategis melahirkan
atau mempengaruhi kebijakan (regulasi), dari masa ke masa selalu mencari perbaikan,
tentunya sebagai upaya pemenuhan demokrasi yang ideal dan sebagai dasar
perwujudan amanat konstitusi Negara yang menganut asas demokrasi.
Upaya melahirkan perbaikan sistem
demokrasi yang ideal sesuai kultur rakyat Indonesia yang homogen tersebut,
salah satunya ditandai dari sistem atau regulasi pemilihan umum atau pemilihan
kepala daerah yang selalu berubah-ubah dari priode ke priode. Bagaimana para
elit politik (Legislator) di DPR
sebagai lembaga yang diberi kewenangan membuat produk-produk hukum (legislasi), terus berupaya melahirkan
peraturan perundang-undangan, khususnya dalam melahirkan produk hukum pemilihan
kepala daerah. Upaya mencari formulasi yang ideal sesuai dengan prinsip “bhineka tunggal ika” dan kearifan lokal
dari daerah-daerah yang berbeda dari sisi kultur dan geografis, namun tetap
menjadi satu kesatuan yang utuh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Lahir dan disyahkannya Undang-undang
nomor 8 tahun 2015 tentang perubahan dari undang-undang nomor 1 tahun 2015
tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun
2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan/atau Walikota menjadi
Undang-undang. Meninggalkan catatan tersendiri bagaimana alotnya saat
pembahasan norma-norma didalamnya, apalagi sebelumnya DPR RI berhasil melahirkan
prodak hukum Pemilihan Kepala Daerah yang pemilihannya melalui “sistem
perwakilan” atau dipilih oleh DPRD namun kemudian dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi setelah adanya peninjauan kembali (judicial review). Penulis
tentunya tetap berpraduga positif, bahwa dinamika elit politik (legislator),
melahirkan produk hukum baru pemilihan kepala daerah untuk tujuan perbaikan
sistem pemilihan yang ideal dan menuju cita-cita demokrasi yang demokratis sebagai
wujud pelaksanaan Konstitusi Negara Indonesia.
Regulasi baru Pemilihan Kepala
Daerah tersebut memunculkan beberapa norma baru yang tentunya menarik untuk
ditelaah. Diantaranya dalam hal pencalonan dan syarat calon kepala daerah, dalam
sistem pemutahiran daftar pemilih, dalam pemungutan dan penghitungan suara
serta rekapitulasi dan penetapan hasil, waktu pelaksanaan Pemilihan, sengketa
Pemilihan dan beberapa norma lain yang berbeda. Dapat kita analisis bersama
bagaimana sistem undang-undang pemilihan kepala daerah sekarang lebih ada
jaminan konstitusional baik bagi peserta pemilihan atau pun masyarakat secara
umum. Itulah upaya perbaikan sistem pemilihan yang terus dilakukan oleh pemangku kebijakan, Walau
memang masih ada beberapa kelemahan yang mesti dievaluasi dan bisa jadi
dilakukan revisi atas beberapa norma dalam undang-undang pemilihan kepala daerah.
Kampanye Model Baru
Ada yang menarik dari lahirnya Undang-undang nomor 8 tahun 2015, terdapat di
pasal 65. Dimana beberapa model atau bentuk Kampanye Pemilihan Kepala Daerah
“di fasilitasi” oleh KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota. Selanjutnya untuk
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dan sebagai amanat undang-undang
Pemilihan, KPU sebagai Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah dan diberi
tanggugjawab untuk menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pasal 8 UU nomor 8
tahun 2015), KPU dengan waktu yang terbatas merumuskan Peraturan, untuk
melahirkan peraturan teknis melaksanakan amanat UU nomor 8 tahun 2015, dengan
waktu yang terbatas itulah Peraturan KPU disusun, dilakukan uji publik baik di
tataran penyelenggara secara hirarki atau pun dalam forum-forum publik
(perguruan tinggi), lalu dikonsultasikan ke DPR RI baru kemudian ditetapkan
oleh KPU RI dan di registrasi (disyahkan) oleh Kementrian Hukum dan HAM dan
berlaku serta mengikat bagi yang berkepentingan didalamnya.
Peraturan KPU nomor 7 tahun 2015 tentang
Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati
dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, menjadi peraturan (regeling - algemeen
bindende). Menariknya dalam peraturan tersebut terdapat pengaturan-pengaturan baru,
dimana terdapat batasan-batasan bagi pasangan calon kepala daerah dalam
kampanye, misalnya larangan pasangan calon / tim kampanye / relawan mencetak
dan memasang alat peraga kampanye, larangan memasang iklan kampanye, larangan melakukan
pawai kendaraan, dan larangan-larangan lain yang menjadi norma baru dalam
dictum peraturan kampanye pemilihan kepala daerah. Namun dalam batasan
(larangan) yang terdapat di peraturan KPU tersebut secara subtansi pesan-pesan
kampanye setiap pasangan calon tetap tersampaikan karena terfasilitasi oleh penyelenggara (KPU) di tingkatannya
melalui anggaran APBD, tinggal bagaimana peran publik serta peran
pemangku kepentingan dalam pemilihan kepala daerah seperti pasangan calon, partai
politik, dan stakeholder lainya berperan aktif dalam setiap momentum Politik
untuk tujuan pendidikan politik yang utuh bagi masyarakat secara umum.
Regulasi baru kampanye Pemilihan
Kepala Daerah serentak saat ini, penulis melihat ada seni baru yang
terlegitimasi seperti kampanye pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan
dialog, kegiatan kebudayaan, kegiatan olehraga, kegiatan sosial dan beberapa
bentuk kampanye lainnya, dalam hal
kampanye tersebut diatas yang trend kita menyebutnya "belusukan".
Dimana penulis melihat kampanye-kampanye dalam bentuk tersebut secara subtansi
lebih mendorong agar peserta pemilihan atau tim kampanye atau relawan dapat
bertemu langsung dengan masyarakat pemilih untuk meraih simpatik dari
konstituen dan membangkitkan kembali animo masyarakat dalam pemilihan.
Dari hal tersebut penulis melihat
bagaimana norma-norma peraturan kampanye pemilihan untuk melaksanakan kampanye
dipolarisasi untuk lebih mengambil makna subtansi, dan tidak dimaknai sebagai belenggu
demokrasi. Kita fahami bersama bisa jadi setiap peraturan jika dimaknai secara
normative-frosedural setiap dictum-diktum dalam peraturan untuk mengatur
batasan-batasan dan menata sebuah perilaku agar lebih tertib dan terarah dengan
tujuan keadilan secara umum. Penulis rasa bagaimana kita juga memaknai Pemilihan
kepala daerah tidak dimaknai hanya sekedar pesta demokrasi namun lebih dari
pada itu, pemilihan kepala daerah kita maknai sebagai instrumen demokrasi untuk
sebuah perbaikan daerah dari terpilihnya pemimpin kepala daerah yang dipilih
langsung oleh rakyat dan disanalah peran rakyat dalam sebuh proses pembangunan
daerah melalui penggunaan hak pilihnya menentukan calon pemimpin atas dasar
kesadaran sebagai warga Negara.
Dari perjalanan panjang kampanye pilkada di pilkada serentak kali ini, yang
paling terpenting bagaimana semua pihak (stakeholder) konsisten terhadap
norma-norma yang mengatur, mengajarkan pendidikan politik dan pendewasaan
demokrasi pada masyarakat, serta bersama-sama berpartisipasi mengawal proses
pilkada untuk mencapai hasil yang terbaik (best electoral result) dari
terselenggaranya pilkada serentak.
0 komentar:
Posting Komentar