Kamis, 09 Juni 2016


 Pernah Dimuat di Kabar Banten 9 Desember 2015

Oleh: A. Munawar
(Sekum FOKAL IMM Banten)
A Munawar
Dinamika politik dari priode ke priode selalu berubah-ubah, tentunya hal demikian salah satunya disebabkan oleh siapa yang berperan dan memerankan peranan penting dari munculnya dinamika yang berkembang. Para elit/aktor politik yang memiliki peran strategis melahirkan atau mempengaruhi kebijakan (regulasi), dari masa ke masa selalu mencari perbaikan, tentunya sebagai upaya pemenuhan demokrasi yang ideal dan sebagai dasar perwujudan amanat konstitusi Negara yang menganut asas demokrasi.
Upaya melahirkan perbaikan sistem demokrasi yang ideal sesuai kultur rakyat Indonesia yang homogen tersebut, salah satunya ditandai dari sistem atau regulasi pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah yang selalu berubah-ubah dari priode ke priode. Bagaimana para elit politik (Legislator) di DPR sebagai lembaga yang diberi kewenangan membuat produk-produk hukum (legislasi), terus berupaya melahirkan peraturan perundang-undangan, khususnya dalam melahirkan produk hukum pemilihan kepala daerah. Upaya mencari formulasi yang ideal sesuai dengan prinsip “bhineka tunggal ika” dan kearifan lokal dari daerah-daerah yang berbeda dari sisi kultur dan geografis, namun tetap menjadi satu kesatuan yang utuh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Lahir dan disyahkannya Undang-undang nomor 8 tahun 2015 tentang perubahan dari undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan/atau Walikota menjadi Undang-undang. Meninggalkan catatan tersendiri bagaimana alotnya saat pembahasan norma-norma didalamnya, apalagi sebelumnya DPR RI berhasil melahirkan prodak hukum Pemilihan Kepala Daerah yang pemilihannya melalui “sistem perwakilan” atau dipilih oleh DPRD namun kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi setelah adanya peninjauan kembali (judicial review). Penulis tentunya tetap berpraduga positif, bahwa dinamika elit politik (legislator), melahirkan produk hukum baru pemilihan kepala daerah untuk tujuan perbaikan sistem pemilihan yang ideal dan menuju cita-cita demokrasi yang demokratis sebagai wujud pelaksanaan Konstitusi Negara Indonesia.
Regulasi baru Pemilihan Kepala Daerah tersebut memunculkan beberapa norma baru yang tentunya menarik untuk ditelaah. Diantaranya dalam hal pencalonan dan syarat calon kepala daerah, dalam sistem pemutahiran daftar pemilih, dalam pemungutan dan penghitungan suara serta rekapitulasi dan penetapan hasil, waktu pelaksanaan Pemilihan, sengketa Pemilihan dan beberapa norma lain yang berbeda. Dapat kita analisis bersama bagaimana sistem undang-undang pemilihan kepala daerah sekarang lebih ada jaminan konstitusional baik bagi peserta pemilihan atau pun masyarakat secara umum. Itulah upaya perbaikan sistem pemilihan yang terus  dilakukan oleh pemangku kebijakan, Walau memang masih ada beberapa kelemahan yang mesti dievaluasi dan bisa jadi dilakukan revisi atas beberapa norma dalam undang-undang pemilihan kepala daerah.
Kampanye Model Baru
Ada yang menarik dari lahirnya  Undang-undang nomor 8 tahun 2015, terdapat di pasal 65. Dimana beberapa model atau bentuk Kampanye Pemilihan Kepala Daerah “di fasilitasi” oleh KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota. Selanjutnya untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dan sebagai amanat undang-undang Pemilihan, KPU sebagai Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah dan diberi tanggugjawab untuk menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pasal 8 UU nomor 8 tahun 2015), KPU dengan waktu yang terbatas merumuskan Peraturan, untuk melahirkan peraturan teknis melaksanakan amanat UU nomor 8 tahun 2015, dengan waktu yang terbatas itulah Peraturan KPU disusun, dilakukan uji publik baik di tataran penyelenggara secara hirarki atau pun dalam forum-forum publik (perguruan tinggi), lalu dikonsultasikan ke DPR RI baru kemudian ditetapkan oleh KPU RI dan di registrasi (disyahkan) oleh Kementrian Hukum dan HAM dan berlaku serta mengikat bagi yang berkepentingan didalamnya.
Peraturan KPU nomor 7 tahun 2015 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota, menjadi peraturan (regeling - algemeen bindende). Menariknya dalam peraturan tersebut terdapat pengaturan-pengaturan baru, dimana terdapat batasan-batasan bagi pasangan calon kepala daerah dalam kampanye, misalnya larangan pasangan calon / tim kampanye / relawan mencetak dan memasang alat peraga kampanye, larangan memasang iklan kampanye, larangan melakukan pawai kendaraan, dan larangan-larangan lain yang menjadi norma baru dalam dictum peraturan kampanye pemilihan kepala daerah. Namun dalam batasan (larangan) yang terdapat di peraturan KPU tersebut secara subtansi pesan-pesan kampanye setiap pasangan calon tetap tersampaikan karena terfasilitasi oleh penyelenggara (KPU) di tingkatannya melalui anggaran APBD, tinggal bagaimana peran publik serta peran pemangku kepentingan dalam pemilihan kepala daerah seperti pasangan calon, partai politik, dan stakeholder lainya berperan aktif dalam setiap momentum Politik untuk tujuan pendidikan politik yang utuh bagi masyarakat secara umum.
Regulasi baru kampanye Pemilihan Kepala Daerah serentak saat ini, penulis melihat ada seni baru yang terlegitimasi seperti kampanye pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog, kegiatan kebudayaan, kegiatan olehraga, kegiatan sosial dan beberapa bentuk kampanye lainnya, dalam hal kampanye tersebut diatas yang trend kita menyebutnya "belusukan". Dimana penulis melihat kampanye-kampanye dalam bentuk tersebut secara subtansi lebih mendorong agar peserta pemilihan atau tim kampanye atau relawan dapat bertemu langsung dengan masyarakat pemilih untuk meraih simpatik dari konstituen dan membangkitkan kembali animo masyarakat dalam pemilihan.
Dari hal tersebut penulis melihat bagaimana norma-norma peraturan kampanye pemilihan untuk melaksanakan kampanye dipolarisasi untuk lebih mengambil makna subtansi, dan tidak dimaknai sebagai belenggu demokrasi. Kita fahami bersama bisa jadi setiap peraturan jika dimaknai secara normative-frosedural setiap dictum-diktum dalam peraturan untuk mengatur batasan-batasan dan menata sebuah perilaku agar lebih tertib dan terarah dengan tujuan keadilan secara umum. Penulis rasa bagaimana kita juga memaknai Pemilihan kepala daerah tidak dimaknai hanya sekedar pesta demokrasi namun lebih dari pada itu, pemilihan kepala daerah kita maknai sebagai instrumen demokrasi untuk sebuah perbaikan daerah dari terpilihnya pemimpin kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat dan disanalah peran rakyat dalam sebuh proses pembangunan daerah melalui penggunaan hak pilihnya menentukan calon pemimpin atas dasar kesadaran sebagai warga Negara.
Dari perjalanan panjang kampanye pilkada di pilkada serentak kali ini, yang paling terpenting bagaimana semua pihak (stakeholder) konsisten terhadap norma-norma yang mengatur, mengajarkan pendidikan politik dan pendewasaan demokrasi pada masyarakat, serta bersama-sama berpartisipasi mengawal proses pilkada untuk mencapai hasil yang terbaik (best electoral result) dari terselenggaranya pilkada serentak.

0 komentar:

Posting Komentar