Tulisan Ini Dimuat di Radar Banten 13 Sept 2013
Oleh: A. Munawar
(Sekum Fokal IMM Banten)
"Untuk tujuan yang mulia, harus diawali
dengan niat dan iti'kad yang mulia".
Pemilihan Umum Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada), yang dilaksanakan secara reguler
dalam setiap priodesasi lima tahun masa jabatan. Seolah selalu memberikan angin
segar akan adanya perubahan suatu daerah, bagai mana tidak fase pilkada bisa
disebut sebagai penentu bagai mana sang kepala daerah dan wakil kepala daerah
yang terpilih nantinya dapat mewujudkan ekspektasi masyarakat. Baik pada
tataran infrastruktur, pelayanan kesehatan, peningkatan mutu pendidikan,
peningkatan tarap ekonomi masyarakat, politik dan hukum di daerah tersebut.
Dalam konteks kedaerahan,
kita tentunya memiliki mimpi dan cita-cita yang sama yaitu memiliki pemimpin
(kepala daerah) yang mampu mewujudkan ekspektasi masyarakat di setiap pelosok
pedesaan sampai perkotaan dalam suatu daerah pada lingkup administrasi daerah
tersebut. Ekspektasi masyarakat akan adanya perubahan rill pada pembangunan infrastruktur,
pelayanan kesehatan, peningkatan mutu pendidikan, peningkatan tarap ekonomi
masyarakat kecil-menengah, dan lainnya. Kita harus bersama-sama berfikir dan bertindak,
untuk bagaimana agar kepentingan dasar masyarakat baik di perkotaan atau pun di
pedesaan dapat dijawab. Kebutuhan dasar masyarakat hari ini yaitu, menghindari
diri dari "kemiskinan". Karena itu sebagian masyarakat tidak akan
tertarik pada hal-hal yang "abstrak", tetapi lebih membutuhkan
kesanggupan konkrit pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar itu. Itulah
tantangan terbesar pemilu kepala daerah kedepan.
Lantas bagaimana kita
bisa menjawab tantangan kedaerahan melalui pilkada, dan melahirkan kepala
daerah yang mampu memperjuangkan kebutuhan dasar masyarakat di daerahnya.
Penulis ingin membangun
paradigma dari proses awal pemilukada, dimana secara normatif-prosedural bahwa Pasangan
calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diusung oleh partai politik atau
gabungan partai politik atau perseorangan yang didukung oleh masyarakat yang
memiliki hak pilih menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan
tersebut eksplisit termaktub dalam Pasal 56 ayat (2) Junto pasal 59 dan 59A,
undang-undang nomor 32 tahun 2004 sebagaimana telah diubah kedua kalinya oleh undang-undang
nomor 12 tahun 2008 tentang pemerintah daerah. Junto Peraturan KPU nomor 13
tahun 2010 tentang pedoman teknis tata cara pencalonan pemilu kepala daerah dan
wakil kepala daerah. Dalam hal ini, pertama terlihat peran strategis
partai politik sebagai pengusung pasangan bakal calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah, sangatlah besar. Kedua, bagaimana bakal calon perseorangan
dapat berperan langsung meraih simpati dan dukungan secara administratif dari
masyarakat.
Artinya, Peran strategis
menentukan bakal calon kepala daerah yang akan disuguhkan dalam penyelenggaraan
pemilu ada pada partai politik pengusung dan masyarakat yang memberi dukungan
langsung kepada calon perseorangan. yang selanjutnya akan di daftarkan ke
Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU dalam hal penentu bakal calon kepala daerah, diberi
tugas dan wewenang hanya secara normatif-administratif. Jika syarat-syatat normatif-administratif
tersebut terpenuhi dan dilakukan verifikasi faktual, KPU selanjutnya menetapkan
calon peserta pilkada. ini dapat dilihat dalam pasal 66, 67 UU 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah Junto UU 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.
Dalam konteks ini, kita
bisa sama-sama sadari betapa penting pertan partai politik dan masyarakat dalam
menentukan kepala daerah kedepan, bukan hanya pada hak dan kewajiban memilih
atau pun dipilih. Akan tetapi dari proses awal menentukan bakal calon kepala
daerah yang akan disuguhkan dalam penyelenggaraan pemilukada. Sosok seperti apa
yang nantinya akan disuguhkan pada masyarakat pemilih.
Pilibatan secara langsung
seluruh komponen masyarakat untuk dilibatkan dalam setiap kontestasi pemilu,
dari proses awal sampai akhir bisa menjadi hal yang tak bisa ditawar, kalau
kita memiliki ekspektasi akan lahirnya "pemimpin rakyat". sehingga
tidak terkesan demokrasi, politik dan pemilu hanya dimiliki oleh sekelompok
elit.
Banyak cara yang dapat
dilakukan dalam melakukan rekrutmen politik, mulai dari rekrutmen tertutup atau
pun rekrutmen terbuka. Kita bisa sama menelaah dan mengambil manfaat dari apa
yang dikatakan oleh Czudnowski, ia membagi dua kategori mekanisme rekrutmen
politik. Pertama Rekrutmen terbuka, di mana syarat dan prosedur untuk
menampilkan seseorang tokoh politik dapat diketahui secara luas. Dalam hal ini
partai politik berfungsi sebagai alat bagi elit politik yang berkualitas untuk
mendapatkan dukungan masyarakat. Cara ini memberikan kesempatan bagi rakyat
untuk melihat dan menilai kemampuan elit politiknya. Dengan demikian cara ini
sangat kompetitif. Ada pun manfaat dari rekrutmen terbuka ialah: a. Mekanismenya
demokratis; b. Tingkat kompetisi politiknya sangat tinggi dan masyarakat akan
mampu memilih pemimpin yang benar-benar mereka kehendaki; c. Tingkat
akuntabilitas pemimpin tinggi; d. Melahirkan sejumlah pemimpin yang demokratis
dan mempunyai nilai integritas pribadi yang tinggi.
Kedua rekrutmen tertutup, syarat dan prosedur pencalonan
tidak dapat secara bebas diketahui umum. Partai berkedudukan sebagai promotor
elit yang berasal dari dalam tubuh partai itu sendiri. Cara ini menutup
kemungkinan bagi anggota masyarakat untuk melihat dan menilai kemampuan elit
yang ditampilkan. Dengan demikian cara ini kurang kompetitif.
Dari beberapa mekanisme
rekrutmen politik, penulis belum melihat para elit-elit partai atau pun
elit-elit politik di luar partai dalam suatu daerah yang dengan serius menggunakan
mekanisme rekrutmen terbuka. Karena mungkin bisa jadi membutuhkan waktu, tenaga
dan fikiran yang ekstra. Walau pun efektifitasnya rekrutmen terbuka jelas lebih
efektif. Dan dapat melahirkan calon-calon pemimpin yang betul-betul dikehendaki
rakyat, untuk di suguhkan dalam kontestasi pemilukada.
Dari wacana yang hangat
akhir-akhir ini, kita melihat para elit politik partai dan elit politik diluar
partai. Malah mewacanakan merevisi UU 32 tahun 2004 sebagaimana perubahan kedua
oleh UU 12 tahun 2008 tentang pemerintah daerah. Dimana beberapa pasal yang
rencananya akan di revisi, menyangkut pemilukada yang akan kembali dipilih oleh
DPRD. Penulis rasa, jika hal itu terjadi dan pemilukada dipilih kembali oleh
DPRD justru akan semakin memunculkan kekhawatiran bagi demokratisasi di daerah.
Karena akan hanya memunculkan hasrat kepentingan para elit dengan minus
pelibatan masyarakat yang akan dipimpinnya. Dan pembenaran terhadap kesan bahwa
demokrasi, politik dan pemilu hanya dimiliki kalangan elit.
Meminjam istilah Robert A
Dahl; 1971. Ia menyebutkan bahwa "pemilihan umum adalah pengejawantahan
dari dua pilar utama demokrasi, yakni partisipasi dan perlombaan." Maka, bagaimana
mungkin dapat tercipta partisipasi masyarakat secara langsung. Kalau setiap
elemen masyarakat tak dilibatkan dalam proses pemilukada, selain itu bagaimana
mungkin masyarakat dapat membentuk komitmen politik dengan calon-calon kepala
daerahnya, sedangkan tak ada proses pemilu dimana rakyat memilih langsung calon
kepala daerahnya.
Kita sepakati bahwa dalam
bentuk negara demokratsi, pemilihan umum adalah syarat mutlak untuk memilih
pemimpin pemerintahan. Seperti yang dikatakan Huntington, bahwa pemilihan umum
merupakan syarat minimalis bagi demokrasi.
Apa jadinya kalau
pemilukada dipilih kembali oleh DPRD, seperti sebelum tahun 2004. Kekhawatiran
utamanya adalah kepala daerah tak punya komitmen langsung dengan rakyat yang
akan dipimpinnya, karena terbangun melalui proses para elit.
Kita harus sadari bersama
bahwa dalam pemilukada langsung, bukan mahal atau tidaknya dalam
penyelenggaraannya, karena melalui DPRD pun pasti menelan anggaran. Ada hal
yang harus kita fikiran dan lakukan saat ini, bagaimana membangun dan menggugah
kesadaran masyarakat yang apatis dan pragmatis terhadap proses pemilihan umum.
Serta lebih mempertegas peran partai politik dan para elit politik dalam
seleksi bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang akan diusungnya,
agar terlahirnya kepala daerah dan wakil kepala daerah yang visioner dan benar-benar
dapat memperjuangkan kebutuhan dasar masyarakat, bukan komitmen antar elit.
Penulis Adalah Wakil Ketua Bidang Kesejahteraan
Masyarakat, PW Pemuda Muhammadiyah Banten
0 komentar:
Posting Komentar