Kamis, 09 Juni 2016

Tulisan Ini Dimuat di Radar Banten 13 Sept 2013

Oleh: A. Munawar
(Sekum Fokal IMM Banten)
A Munawar

"Untuk tujuan yang mulia, harus diawali dengan niat dan iti'kad yang mulia".
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada), yang dilaksanakan secara reguler dalam setiap priodesasi lima tahun masa jabatan. Seolah selalu memberikan angin segar akan adanya perubahan suatu daerah, bagai mana tidak fase pilkada bisa disebut sebagai penentu bagai mana sang kepala daerah dan wakil kepala daerah yang terpilih nantinya dapat mewujudkan ekspektasi masyarakat. Baik pada tataran infrastruktur, pelayanan kesehatan, peningkatan mutu pendidikan, peningkatan tarap ekonomi masyarakat, politik dan hukum di daerah tersebut.
Dalam konteks kedaerahan, kita tentunya memiliki mimpi dan cita-cita yang sama yaitu memiliki pemimpin (kepala daerah) yang mampu mewujudkan ekspektasi masyarakat di setiap pelosok pedesaan sampai perkotaan dalam suatu daerah pada lingkup administrasi daerah tersebut. Ekspektasi masyarakat akan adanya perubahan rill pada pembangunan infrastruktur, pelayanan kesehatan, peningkatan mutu pendidikan, peningkatan tarap ekonomi masyarakat kecil-menengah, dan lainnya. Kita harus bersama-sama berfikir dan bertindak, untuk bagaimana agar kepentingan dasar masyarakat baik di perkotaan atau pun di pedesaan dapat dijawab. Kebutuhan dasar masyarakat hari ini yaitu, menghindari diri dari "kemiskinan". Karena itu sebagian masyarakat tidak akan tertarik pada hal-hal yang "abstrak", tetapi lebih membutuhkan kesanggupan konkrit pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar itu. Itulah tantangan terbesar pemilu kepala daerah kedepan.
Lantas bagaimana kita bisa menjawab tantangan kedaerahan melalui pilkada, dan melahirkan kepala daerah yang mampu memperjuangkan kebutuhan dasar masyarakat di daerahnya.
Penulis ingin membangun paradigma dari proses awal pemilukada, dimana secara normatif-prosedural bahwa Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik atau perseorangan yang didukung oleh masyarakat yang memiliki hak pilih menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan tersebut eksplisit termaktub dalam Pasal 56 ayat (2) Junto pasal 59 dan 59A, undang-undang nomor 32 tahun 2004 sebagaimana telah diubah kedua kalinya oleh undang-undang nomor 12 tahun 2008 tentang pemerintah daerah. Junto Peraturan KPU nomor 13 tahun 2010 tentang pedoman teknis tata cara pencalonan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah. Dalam hal ini, pertama terlihat peran strategis partai politik sebagai pengusung pasangan bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, sangatlah besar. Kedua, bagaimana bakal calon perseorangan dapat berperan langsung meraih simpati dan dukungan secara administratif dari masyarakat.
Artinya, Peran strategis menentukan bakal calon kepala daerah yang akan disuguhkan dalam penyelenggaraan pemilu ada pada partai politik pengusung dan masyarakat yang memberi dukungan langsung kepada calon perseorangan. yang selanjutnya akan di daftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU dalam hal penentu bakal calon kepala daerah, diberi tugas dan wewenang hanya secara normatif-administratif. Jika syarat-syatat normatif-administratif tersebut terpenuhi dan dilakukan verifikasi faktual, KPU selanjutnya menetapkan calon peserta pilkada. ini dapat dilihat dalam pasal 66, 67 UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Junto UU 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.
Dalam konteks ini, kita bisa sama-sama sadari betapa penting pertan partai politik dan masyarakat dalam menentukan kepala daerah kedepan, bukan hanya pada hak dan kewajiban memilih atau pun dipilih. Akan tetapi dari proses awal menentukan bakal calon kepala daerah yang akan disuguhkan dalam penyelenggaraan pemilukada. Sosok seperti apa yang nantinya akan disuguhkan pada masyarakat pemilih.
Pilibatan secara langsung seluruh komponen masyarakat untuk dilibatkan dalam setiap kontestasi pemilu, dari proses awal sampai akhir bisa menjadi hal yang tak bisa ditawar, kalau kita memiliki ekspektasi akan lahirnya "pemimpin rakyat". sehingga tidak terkesan demokrasi, politik dan pemilu hanya dimiliki oleh sekelompok elit.
Banyak cara yang dapat dilakukan dalam melakukan rekrutmen politik, mulai dari rekrutmen tertutup atau pun rekrutmen terbuka. Kita bisa sama menelaah dan mengambil manfaat dari apa yang dikatakan oleh Czudnowski, ia membagi dua kategori mekanisme rekrutmen politik. Pertama Rekrutmen terbuka, di mana syarat dan prosedur untuk menampilkan seseorang tokoh politik dapat diketahui secara luas. Dalam hal ini partai politik berfungsi sebagai alat bagi elit politik yang berkualitas untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Cara ini memberikan kesempatan bagi rakyat untuk melihat dan menilai kemampuan elit politiknya. Dengan demikian cara ini sangat kompetitif. Ada pun manfaat dari rekrutmen terbuka ialah: a. Mekanismenya demokratis; b. Tingkat kompetisi politiknya sangat tinggi dan masyarakat akan mampu memilih pemimpin yang benar-benar mereka kehendaki; c. Tingkat akuntabilitas pemimpin tinggi; d. Melahirkan sejumlah pemimpin yang demokratis dan mempunyai nilai integritas pribadi yang tinggi.
Kedua rekrutmen tertutup, syarat dan prosedur pencalonan tidak dapat secara bebas diketahui umum. Partai berkedudukan sebagai promotor elit yang berasal dari dalam tubuh partai itu sendiri. Cara ini menutup kemungkinan bagi anggota masyarakat untuk melihat dan menilai kemampuan elit yang ditampilkan. Dengan demikian cara ini kurang kompetitif.
Dari beberapa mekanisme rekrutmen politik, penulis belum melihat para elit-elit partai atau pun elit-elit politik di luar partai dalam suatu daerah yang dengan serius menggunakan mekanisme rekrutmen terbuka. Karena mungkin bisa jadi membutuhkan waktu, tenaga dan fikiran yang ekstra. Walau pun efektifitasnya rekrutmen terbuka jelas lebih efektif. Dan dapat melahirkan calon-calon pemimpin yang betul-betul dikehendaki rakyat, untuk di suguhkan dalam kontestasi pemilukada.
Dari wacana yang hangat akhir-akhir ini, kita melihat para elit politik partai dan elit politik diluar partai. Malah mewacanakan merevisi UU 32 tahun 2004 sebagaimana perubahan kedua oleh UU 12 tahun 2008 tentang pemerintah daerah. Dimana beberapa pasal yang rencananya akan di revisi, menyangkut pemilukada yang akan kembali dipilih oleh DPRD. Penulis rasa, jika hal itu terjadi dan pemilukada dipilih kembali oleh DPRD justru akan semakin memunculkan kekhawatiran bagi demokratisasi di daerah. Karena akan hanya memunculkan hasrat kepentingan para elit dengan minus pelibatan masyarakat yang akan dipimpinnya. Dan pembenaran terhadap kesan bahwa demokrasi, politik dan pemilu hanya dimiliki kalangan elit.
Meminjam istilah Robert A Dahl; 1971. Ia menyebutkan bahwa "pemilihan umum adalah pengejawantahan dari dua pilar utama demokrasi, yakni partisipasi dan perlombaan." Maka, bagaimana mungkin dapat tercipta partisipasi masyarakat secara langsung. Kalau setiap elemen masyarakat tak dilibatkan dalam proses pemilukada, selain itu bagaimana mungkin masyarakat dapat membentuk komitmen politik dengan calon-calon kepala daerahnya, sedangkan tak ada proses pemilu dimana rakyat memilih langsung calon kepala daerahnya.
Kita sepakati bahwa dalam bentuk negara demokratsi, pemilihan umum adalah syarat mutlak untuk memilih pemimpin pemerintahan. Seperti yang dikatakan Huntington, bahwa pemilihan umum merupakan syarat minimalis bagi demokrasi.
Apa jadinya kalau pemilukada dipilih kembali oleh DPRD, seperti sebelum tahun 2004. Kekhawatiran utamanya adalah kepala daerah tak punya komitmen langsung dengan rakyat yang akan dipimpinnya, karena terbangun melalui proses para elit.
Kita harus sadari bersama bahwa dalam pemilukada langsung, bukan mahal atau tidaknya dalam penyelenggaraannya, karena melalui DPRD pun pasti menelan anggaran. Ada hal yang harus kita fikiran dan lakukan saat ini, bagaimana membangun dan menggugah kesadaran masyarakat yang apatis dan pragmatis terhadap proses pemilihan umum. Serta lebih mempertegas peran partai politik dan para elit politik dalam seleksi bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang akan diusungnya, agar terlahirnya kepala daerah dan wakil kepala daerah yang visioner dan benar-benar dapat memperjuangkan kebutuhan dasar masyarakat, bukan komitmen antar elit.


Penulis Adalah Wakil Ketua Bidang Kesejahteraan Masyarakat, PW Pemuda Muhammadiyah Banten

0 komentar:

Posting Komentar